Jantungku berdegup. Keras, keras sekali. Sekian tahun aku tak
merasakan degupan seperti ini. Aku tak tahu kenapa jantung ini berdegup seperti
ini, lagi. Ya, lagi. Setelah bertahun-tahun aku tak bertemu dengannya, kini
takdir Tuhan kembali menemukanku dengan dia. Laki-laki yang telah berani
melukai perasaanku, pergi demi orang lain, pergi di saat aku mulai sangat
mencintainya. Ya, pergi dengan sahabatku sendiri.
Aku tak tahu mengapa jantung ini harus kembali berdegup keras
karena bertemu orang yang masuk ke dalam daftar orang yang kubenci. Orang yang
namanya sangat wajib kulupakan. Dan yang membuatku heran mengapa Tuhan
mempertemukanku dengan dia. Mengapa harus dia?
Anehnya lagi pertemuan itu tidak hanya sekali. Tetapi berkali-kali.
Aku tak bisa menghindarinya karena dengan sangat terpaksa aku harus menjadi
partner dengan dia. Kebetulan perusahaan tempatku bekerja sedang berkooperatif
dengan perusahaannya. Aku sebagai sekretaris pemilik perusahaan mau tak mau
harus terus mendampingi beliau, kemanapun beliau pergi, kemanapun beliau meeting
aku harus ada di sampingnya. Dan sayangnya lagi ternyata dia, sang mantan,
adalah pemilik perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan tempatku bekerja.
Alhasil setiap hari kami harus bertemu. Aku masih memasang wajah
benci. Benci karena perbuatannya dulu. Tenang saja, aku sudah memaafkannya,
tapi ya tetap saja aku tak suka bila harus bertemu dengan dia lagi.
Suatu hari aku sedikit terburu-buru berangkat ke kantor, dan
seperti biasa aku presensi dengan sidik jari di dekat lift. Aku berdiri di
depan lift, menunggu lift turun ke lantai satu. Begitu pintu terbuka, dia (aku
tak mau menyebut namanya) muncul di hadapanku. Aku tergugu sekaligus terkejut,
sepertinya dia juga begitu. Karena aku memang terburu-buru akhirnya aku masuk
ke dalam lift, dan yang paling menyebalkan lagi ternyata dia tidak keluar dari
lift. Dia sengaja berdiri di sampingku. Aku dongkol setengah mati.
“Elfa.” sapanya yang lagi-lagi membuatku terkejut. Aku menoleh
sesaat dan membuang muka seketika. Aku tak tahu apa reaksi dia, bagiku masa
bodoh yang penting aku harus segera ke ruanganku sebelum bos datang.
Pintu lift terbuka, aku beranjak keluar. Langkah kakiku baru
beberapa jengkal, tiba-tiba ia angkat bicara.
“Aku ingin suatu saat kita bisa berbincang-bincang lagi denganmu,
Fa.” Aku terpaku sejenak. Melanjutkan langkah kakiku, berpura-pura tak mau
tahu.
Praktis semenjak kata-kata singkat di dalam lift itu kehidupanku
mulai berubah. Semenjak itu pula kami tak lagi bertemu. Ia seolah-olah
menghilang lagi seperti dulu. Dan entah mengapa aku selalu memikirkan dia,
bertanya-tanya pada diri sendiri kemana dia, bagaimana keadaannya, dan
pertanyaan-pertanyaan konyol lainnya yang aku tak bisa menjawabnya. Di kantor,
saat aku akan masuk lift aku seperti berharap akan bertemu dengannya. Saat di
ruangan, tiba-tiba telepon berdering, aku berharap itu telepon darinya, saat
ada suara langkah kaki orang mendekat aku berharap itu langkah kakinya. Tapi
semua harapan itu kosong. Benar-benar kosong. Ia benar-benar menghilang.
Kegiatan rapat-rapat itu juga ia hanya diwakilkan oleh
sekretarisnya. Menghilangnya untuk kedua kalinya itu membuatku merasa sepi.
Lebih sepi, meskipun tak terlalu sakit.
“Dia emang suka menghilang tiba-tiba. Laki-laki macam apa itu!”
teriakku pada teman sekamarku, Lita, yang sudah kuanggap sebagai sahabat
ataupun saudaraku sendiri.
“Aku nggak tahu kenapa aku bisa ketemu dia lagi. Sebelum dia
menghilang dia pernah bilang mau ngomong sama aku, Ta. Tapi buat apa coba kalo
dia ngilang lagi?!” ujarku lagi. Lita yang mendengar omelanku hanya menghela
nafas.
“Fa, kamu masih punya perasaan ya buat dia?” tanya Lita to the
point.
“WHAT??!! Perasaan? Enggak ada, Ta. Buat apa aku masih nyimpen
perasaan itu! Dia udah tega mengkhianatiku. Masih mending kalo sama cewek lain,
lha ini sama sahabatku sendiri. Siapa yang nggak sakit coba?!” jawabku dengan
tegas.
“Elfa, kalo kamu nggak punya perasaan buat dia kamu nggak akan
ngomel-ngomel kayak gini. Marah-marah nggak jelas. Dia mau menghilang apa
enggak kan terserah dia. Apa urusanmu kalo kamu udah nggak punya perasaan
lagi?” ujar Lita.
Aku terdiam. Aku yang sedari tadi mondar-mandir sambil menggerutu
seketika terduduk. Tergugu mencerna kalimat Lita. Ya, kalau aku memang tak
punya perasaan lagi lantas mengapa aku marah-marah? Apa aku masih punya
perasaan itu? Aku sendiri tak mengerti. Aku memandangi Lita. Tiba-tiba mataku
basah, aku langsung memeluk Lita. Membutuhkan ketenangan dari perasaan yang tak
tentu ini. Dan sontak air matakupun bercucuran deras.
Sebulan telah berlalu. Saat makan siang, aku dan Lita seperti biasa
ke kantin. Berbincang-bincang sama seperti yang lainnya, kami tenggelam dalam
obrolan kami hingga tanpa sadar seseorang telah berdiri di sampingku. Aku
mendongakkan kepala, mata itu. Tatapan yang tak pernah bisa kulupakan hingga
sekarang. Mata kami bertemu. Perasaanku buncah, aku berdiri dan memeluknya
erat, menangis terisak. Aku yakin orang-orang yang ada di area kantin terkejut
melihat adegan aku memeluk orang itu, termasuk Lita. Dia mendudukkanku di
kursiku. Ia turut duduk di sebelahku. Lita masih tetap di kursinya.
“Fa, aku... aku senang sekali bisa bertemu lagi denganmu.” ujarnya
sambil tersenyum. Aku menghapus air mataku, masih sesenggukan.
“Kak, kenapa tiba-tiba pergi? Aku, aku, aku......” aku terisak
lagi. Kali ini dia yang memelukku. Tangisku yang awalnya mulai reda kembali
buncah. Perasaanku benar-benar terluapkan saat itu.
Semenjak aku meluapkan kekesalanku padanya, kami kembali sering
bertemu. Namun, tak ada lagi tatapan benci, tak ada lagi buang muka. Semua
kembali normal. Aku tersenyum manis, bahkan sangat manis saat bertemu
dengannya. Kami sering makan bersama, jalan-jalan, dan masih banyak kegiatan
lainnya yang kami lakukan bersama. Tentunya beberapa kali masih dengan Lita.
Di suatu sore saat kami sedang duduk di taman kota, kali ini tanpa
Lita, tiba-tiba dia meraih tanganku, menggenggam lembut.
“Fa, maafin aku udah tega ninggalin kamu. Maafin aku yang bodoh mengartikan
cintamu selama ini. Aku tahu kamu sakit, aku juga sakit, Fa, saat ternyata Tifa
hanya memanfaatkanku selama ini. Ternyata dia memfitnahmu, menjelek-jelekkanmu
hanya karena dulu laki-laki yang dia suka pernah menyukaimu. Dia nggak suka,
makanya dia merebut apa yang udah kamu miliki. Dan bodohnya aku, aku dengan
mudahnya termakan semua rayuannya. Kamu mau maafin aku kan, Fa?”
Aku terdiam. Lama. Ingatanku kembali dimana dulu aku dan dia masih
berpacaran, saat aku sering curhat sama Tifa tentang dia, hingga saat dia tega
pergi meninggalkanku tanpa alasan yang jelas demi Tifa, yang kuanggap sebagai
sahabatku.
“Fa, aku benar-benar minta maaf. Aku tahu aku salah. Tapi aku
menyesal, benar-benar menyesal. Aku nggak mau menyia-nyiakan cintamu lagi, Fa.
Aku janji.”
Mataku basah, masih dengan menatapnya tanpa suara apapun. Aku
melepaskan genggamannya.
“Aku tak tahu, Kak. Bahkan sampai sekarang aku masih tak mengerti
mengapa kita dipertemukan lagi. Aku memang sakit, sangat sakit hati atas
perbuatan kalian yang tega mengkhianatiku. Tapi
aku juga tak mengerti mengapa aku bisa menerimamu kembali seperti saat
ini.”
“Kamu menerimaku kembali? Jadi kamu maafin aku, Fa?”
Aku menggangguk pelan. Tersenyum dengan mata basah. Ia memelukku
dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Air mataku pun melesat dengan
lancar.
“Bener kan, Fa. Jodoh itu nggak akan kemana.” ujar Lita menggodaku
di sela-sela kerumunan tamu-tamu. Aku tersipu.
“Apapun yang pernah terjadi dalam hubungan kalian, kalau takdir
Tuhan telah berbicara kita nggak bisa menghindarinya, teman.” kata Lita lagi.
Aku mengangguk dan tersenyum senang.
“Makasih, Ta. Kamu lebih dari sekedar sahabatku.” kataku sambil
memeluk Lita dengan erat. Lita membalas pelukanku dengan gembira.
Ya, hari ini. Kami resmi
menjadi sebagai pasangan. Tak hanya sepasang kekasih, tetapi sepasang
suami-istri. Ia memutuskan untuk menikahiku, dan aku pun benar-benar bisa
menerimanya kembali sebagai kekasih dalam kehidupanku untuk selamanya sampai
ajal menjemput. J
Nur Kholifah
11201241063
Tidak ada komentar:
Posting Komentar