Rabu, 19 September 2012

TAKDIR ITU BERBICARA

Jantungku berdegup. Keras, keras sekali. Sekian tahun aku tak merasakan degupan seperti ini. Aku tak tahu kenapa jantung ini berdegup seperti ini, lagi. Ya, lagi. Setelah bertahun-tahun aku tak bertemu dengannya, kini takdir Tuhan kembali menemukanku dengan dia. Laki-laki yang telah berani melukai perasaanku, pergi demi orang lain, pergi di saat aku mulai sangat mencintainya. Ya, pergi dengan sahabatku sendiri.
Aku tak tahu mengapa jantung ini harus kembali berdegup keras karena bertemu orang yang masuk ke dalam daftar orang yang kubenci. Orang yang namanya sangat wajib kulupakan. Dan yang membuatku heran mengapa Tuhan mempertemukanku dengan dia. Mengapa harus dia?
Anehnya lagi pertemuan itu tidak hanya sekali. Tetapi berkali-kali. Aku tak bisa menghindarinya karena dengan sangat terpaksa aku harus menjadi partner dengan dia. Kebetulan perusahaan tempatku bekerja sedang berkooperatif dengan perusahaannya. Aku sebagai sekretaris pemilik perusahaan mau tak mau harus terus mendampingi beliau, kemanapun beliau pergi, kemanapun beliau meeting aku harus ada di sampingnya. Dan sayangnya lagi ternyata dia, sang mantan, adalah pemilik perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan tempatku bekerja.
Alhasil setiap hari kami harus bertemu. Aku masih memasang wajah benci. Benci karena perbuatannya dulu. Tenang saja, aku sudah memaafkannya, tapi ya tetap saja aku tak suka bila harus bertemu dengan dia lagi.

Suatu hari aku sedikit terburu-buru berangkat ke kantor, dan seperti biasa aku presensi dengan sidik jari di dekat lift. Aku berdiri di depan lift, menunggu lift turun ke lantai satu. Begitu pintu terbuka, dia (aku tak mau menyebut namanya) muncul di hadapanku. Aku tergugu sekaligus terkejut, sepertinya dia juga begitu. Karena aku memang terburu-buru akhirnya aku masuk ke dalam lift, dan yang paling menyebalkan lagi ternyata dia tidak keluar dari lift. Dia sengaja berdiri di sampingku. Aku dongkol setengah mati.
“Elfa.” sapanya yang lagi-lagi membuatku terkejut. Aku menoleh sesaat dan membuang muka seketika. Aku tak tahu apa reaksi dia, bagiku masa bodoh yang penting aku harus segera ke ruanganku sebelum bos datang.
Pintu lift terbuka, aku beranjak keluar. Langkah kakiku baru beberapa jengkal, tiba-tiba ia angkat bicara.
“Aku ingin suatu saat kita bisa berbincang-bincang lagi denganmu, Fa.” Aku terpaku sejenak. Melanjutkan langkah kakiku, berpura-pura tak mau tahu.

Praktis semenjak kata-kata singkat di dalam lift itu kehidupanku mulai berubah. Semenjak itu pula kami tak lagi bertemu. Ia seolah-olah menghilang lagi seperti dulu. Dan entah mengapa aku selalu memikirkan dia, bertanya-tanya pada diri sendiri kemana dia, bagaimana keadaannya, dan pertanyaan-pertanyaan konyol lainnya yang aku tak bisa menjawabnya. Di kantor, saat aku akan masuk lift aku seperti berharap akan bertemu dengannya. Saat di ruangan, tiba-tiba telepon berdering, aku berharap itu telepon darinya, saat ada suara langkah kaki orang mendekat aku berharap itu langkah kakinya. Tapi semua harapan itu kosong. Benar-benar kosong. Ia benar-benar menghilang.
Kegiatan rapat-rapat itu juga ia hanya diwakilkan oleh sekretarisnya. Menghilangnya untuk kedua kalinya itu membuatku merasa sepi. Lebih sepi, meskipun tak terlalu sakit.
“Dia emang suka menghilang tiba-tiba. Laki-laki macam apa itu!” teriakku pada teman sekamarku, Lita, yang sudah kuanggap sebagai sahabat ataupun saudaraku sendiri.
“Aku nggak tahu kenapa aku bisa ketemu dia lagi. Sebelum dia menghilang dia pernah bilang mau ngomong sama aku, Ta. Tapi buat apa coba kalo dia ngilang lagi?!” ujarku lagi. Lita yang mendengar omelanku hanya menghela nafas.
“Fa, kamu masih punya perasaan ya buat dia?” tanya Lita to the point.
“WHAT??!! Perasaan? Enggak ada, Ta. Buat apa aku masih nyimpen perasaan itu! Dia udah tega mengkhianatiku. Masih mending kalo sama cewek lain, lha ini sama sahabatku sendiri. Siapa yang nggak sakit coba?!” jawabku dengan tegas.
“Elfa, kalo kamu nggak punya perasaan buat dia kamu nggak akan ngomel-ngomel kayak gini. Marah-marah nggak jelas. Dia mau menghilang apa enggak kan terserah dia. Apa urusanmu kalo kamu udah nggak punya perasaan lagi?” ujar Lita.
Aku terdiam. Aku yang sedari tadi mondar-mandir sambil menggerutu seketika terduduk. Tergugu mencerna kalimat Lita. Ya, kalau aku memang tak punya perasaan lagi lantas mengapa aku marah-marah? Apa aku masih punya perasaan itu? Aku sendiri tak mengerti. Aku memandangi Lita. Tiba-tiba mataku basah, aku langsung memeluk Lita. Membutuhkan ketenangan dari perasaan yang tak tentu ini. Dan sontak air matakupun bercucuran deras.

Sebulan telah berlalu. Saat makan siang, aku dan Lita seperti biasa ke kantin. Berbincang-bincang sama seperti yang lainnya, kami tenggelam dalam obrolan kami hingga tanpa sadar seseorang telah berdiri di sampingku. Aku mendongakkan kepala, mata itu. Tatapan yang tak pernah bisa kulupakan hingga sekarang. Mata kami bertemu. Perasaanku buncah, aku berdiri dan memeluknya erat, menangis terisak. Aku yakin orang-orang yang ada di area kantin terkejut melihat adegan aku memeluk orang itu, termasuk Lita. Dia mendudukkanku di kursiku. Ia turut duduk di sebelahku. Lita masih tetap di kursinya.
“Fa, aku... aku senang sekali bisa bertemu lagi denganmu.” ujarnya sambil tersenyum. Aku menghapus air mataku, masih sesenggukan.
“Kak, kenapa tiba-tiba pergi? Aku, aku, aku......” aku terisak lagi. Kali ini dia yang memelukku. Tangisku yang awalnya mulai reda kembali buncah. Perasaanku benar-benar terluapkan saat itu.

Semenjak aku meluapkan kekesalanku padanya, kami kembali sering bertemu. Namun, tak ada lagi tatapan benci, tak ada lagi buang muka. Semua kembali normal. Aku tersenyum manis, bahkan sangat manis saat bertemu dengannya. Kami sering makan bersama, jalan-jalan, dan masih banyak kegiatan lainnya yang kami lakukan bersama. Tentunya beberapa kali masih dengan Lita.
Di suatu sore saat kami sedang duduk di taman kota, kali ini tanpa Lita, tiba-tiba dia meraih tanganku, menggenggam lembut.
“Fa, maafin aku udah tega ninggalin kamu. Maafin aku yang bodoh mengartikan cintamu selama ini. Aku tahu kamu sakit, aku juga sakit, Fa, saat ternyata Tifa hanya memanfaatkanku selama ini. Ternyata dia memfitnahmu, menjelek-jelekkanmu hanya karena dulu laki-laki yang dia suka pernah menyukaimu. Dia nggak suka, makanya dia merebut apa yang udah kamu miliki. Dan bodohnya aku, aku dengan mudahnya termakan semua rayuannya. Kamu mau maafin aku kan, Fa?”
Aku terdiam. Lama. Ingatanku kembali dimana dulu aku dan dia masih berpacaran, saat aku sering curhat sama Tifa tentang dia, hingga saat dia tega pergi meninggalkanku tanpa alasan yang jelas demi Tifa, yang kuanggap sebagai sahabatku.
“Fa, aku benar-benar minta maaf. Aku tahu aku salah. Tapi aku menyesal, benar-benar menyesal. Aku nggak mau menyia-nyiakan cintamu lagi, Fa. Aku janji.”
Mataku basah, masih dengan menatapnya tanpa suara apapun. Aku melepaskan genggamannya.
“Aku tak tahu, Kak. Bahkan sampai sekarang aku masih tak mengerti mengapa kita dipertemukan lagi. Aku memang sakit, sangat sakit hati atas perbuatan kalian yang tega mengkhianatiku. Tapi  aku juga tak mengerti mengapa aku bisa menerimamu kembali seperti saat ini.”
“Kamu menerimaku kembali? Jadi kamu maafin aku, Fa?”
Aku menggangguk pelan. Tersenyum dengan mata basah. Ia memelukku dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Air mataku pun melesat dengan lancar.

“Bener kan, Fa. Jodoh itu nggak akan kemana.” ujar Lita menggodaku di sela-sela kerumunan tamu-tamu. Aku tersipu.
“Apapun yang pernah terjadi dalam hubungan kalian, kalau takdir Tuhan telah berbicara kita nggak bisa menghindarinya, teman.” kata Lita lagi. Aku mengangguk dan tersenyum senang.
“Makasih, Ta. Kamu lebih dari sekedar sahabatku.” kataku sambil memeluk Lita dengan erat. Lita membalas pelukanku dengan gembira.
Ya, hari ini. Kami resmi menjadi sebagai pasangan. Tak hanya sepasang kekasih, tetapi sepasang suami-istri. Ia memutuskan untuk menikahiku, dan aku pun benar-benar bisa menerimanya kembali sebagai kekasih dalam kehidupanku untuk selamanya sampai ajal menjemput. J


Nur Kholifah
11201241063

Tidak ada komentar:

Posting Komentar