Langit tak lagi semarah tadi. Mendung tebal
kelabu perlahan menipis berarak tertiup angin. Selaput tipis awan menghantarkan
cahaya matahari jingga keemasan. Meski suasana dingin tetap terasa menggigit
tulang, orang-orang mulai terlihat meninggalkan tempat berteduh mereka di
emperan toko Malioboro untuk melanjutkan perjalanan.
Hujan tadi meninggalkan jejak air pada
tanah becek dan kubangan-kubangan aspal di jalan raya. Sesekali roda mobil para
pelancong kaya memecah genangan, menghantarkan air bercampur kotoran ke tubuh
orang-orang yang mematung di trotoar tepi jalan maskot kota jogja itu.
Terdengar suara gerutuan. Tetapi tak ada yang berani marah. Warana megah metalik
kotak beroda itu membuat orang –orang pinggiran merasa manusia yang duduk di
dalamnya punya status lebih tinggi dari yang berdiri kaku di pinggir jalan.
Orang-orang kaya nampak angkuh dalam kemewahannya tanpa tahu atau pernah merasakan
kesengsaraan bagai orang miskin.
Dari kejauhan terlihat sesosok anak belasan
tahun yang berjalan dengan wajah penuh
harap sembari menenteng tas plastik besar di punggungnya berisi botol plastik
minuman bekas yang sudah sedari tadi pagi ia kumpulkan, bajunya yang telah
usang dan robek di pangkal ketiaknya tak membuat Age malu mengabsen tong-tong
sampah di sepanjang emperan toko dengan tongkat besi yang telah di modifikasi
sedemikian rupa untuk mempermudahnya mengais botol-botol plastik. Di pikirannya hanya ada obat TBC yang nanti
akan dia belikan dari apotek ujung gang gubuknya untuk kesembuhan emaknya di
rumah setelah menjual hasil kerjanya seharian ini,yang telah sekian tahun
mengidap penyakit berbahaya ini tanpa pernah di obati secara serius dan
intensif di rumah sakit karena faktor biaya yang mahal. Age adalah anak pertama
dari tiga bersaudara. Adiknya Leni dan Sita msih sangat kecil untuk ikut bekerja
membantu ayahnya yang sehari-hari hanya bekerja serabutan dan suka berjudi di
daerah Kridosono.
Tanggung jawab Age sebagai anak sulung tidaklah ringan, kehidupan ekonomi keluarganya jauh dibawah standar yang membuatnya harus membanting tulang menjadi tulang punggung keluarganya. Gubuk tempat ia berlindung sekarangpun hanya tak lebih dari tumpukan kayu dan anyaman bambu tua yang telah reot termakan rayap dan tak layak huni. Dindingnya yang telihat tua telah banyak berlubang sehingga harus di tambal dengan kardus-kardus bekas.
Tanggung jawab Age sebagai anak sulung tidaklah ringan, kehidupan ekonomi keluarganya jauh dibawah standar yang membuatnya harus membanting tulang menjadi tulang punggung keluarganya. Gubuk tempat ia berlindung sekarangpun hanya tak lebih dari tumpukan kayu dan anyaman bambu tua yang telah reot termakan rayap dan tak layak huni. Dindingnya yang telihat tua telah banyak berlubang sehingga harus di tambal dengan kardus-kardus bekas.
Sore itu sepulang dari mengkilokan hasil
dari pekerjaannya memulung seharian dia mendapat uang sebesar dua puluh tujuh
lima ratus rupiah. Dia tahu dia hanya akan membawa uang dua ribu lima ratus
saja setelah dua puluh lima ribu ia belikan obat, dan benar saja setelah ia
membeli obat Isonazid dan uang dalam kantungnya tinggal dua ribu lima ratus
saja.
Saat perjalanan pulang, otak Age rasanya
berat memikirkan semua permasalahan dihidupnya. Ekonomi yang serba kekurangan,
emaknya yang terus sakit-sakitan, adiknya yang butuh makan dan sentuhan
pendidikan ditambah lagi dengan ayahnya hanya suka berjudi dan tak lagi pernah
pulang memberi nafkah. Ayahnya hanya pulang sesekali dalam seminggu, itupun tak
membawa nafkah tapi lebih sering meminta uang untuk berjudi padanya atau
emaknya yang hanya bekerja sebagai buruh cuci tidak tetap dirumah tetangganya.
Dalam benaknya hanya berkata andaikan saja semua terjadi seperti yang ia
harapkan, ekonomi yang cukup, keluarga yang harmonis serta perhatian dan kasih
sayang orang tua kepadanya dan adik-adiknya.
Dalam lamunan tiba-tiba langkahnya terhenti, terdengar suara cek-cok diwarnai
tangisan disertai batuk-batuk yang beriringan dengan suara bentakan seorang
lelaki yang terasa sedang meluapkan emosi dari dekat gubuk reotnya. Lalu Age
mulai berlari dan melepaskan tas plastik besar yang di dalamnya terdapat batang
besi beserta obat Isonazid dari genggaman tangannya. Ia berlari sekencang
mungkin untuk segera memastikan apa yang telah terjadi. Age yang tubuhnya telah
lesu masuk ke dalam rumah yang sangat sederhana itu. Di dapatinya emak yang
telah memeluk erat kedua adiknya tersungkur tak berdaya di dekat kardus tempat
biasa ia merebahkan tubuhnya sambil menangis. Dilihat bibir emaknya bergetar merasakan
sakit dari sebuah cap tangan di pipi pucatnya.
Age bergegas memeluk emaknya lalu berlari
ke arah ayahnya dengan mengepalkan tangan dari arah punggungnya. Dia hanya tak
rela emaknya dijadikan bulan-bulanan ke egoisan ayahnya. Tetapi belum sempat
niatannya menjadi kenyataan, Age telah tersungkur setelah ia merasakan sebuah
pukulan mentah dari ayahnya.
“Tidak
ada yang pernah mengerti aku, aku butuh uang!! Aku kalah taruhan dan Kalian
hanya bisa membuat hidupku sengsara!”
Kata Ayah Age.
“Bapak
yang harusnya tahu diri, kami telah berusaha semaksimal mungkin. Lihat emak
Pak, tubuhnya kurus, sakit-sakitan, lihat anakmu ini Pak. Lihat Leni dan
Sita,dimana perasaan Bapak sebagai seorang ayah!!” sahut Age smbil berkaca-kaca
dan mengelus kepalanya yang sedang sakit.
“Dasar
anak tak tahu diberi untung, sudah syukur kamu hidup. Masih saja kamu mau
melawanku!”
“Sudahh..Sudaahh..Hentikan!
Pak, ibu tahu bapak capek, ibu juga tahu kehidupan kita serba kekurangan. Kalau
memang ini yang terbaik ibu akan turuti mau bapak, tapi ibu pesen tolong pak,
tolong jaga anak-anak kita.” Emak Age menyela.
“Mak??”
“Iya Pak,
besok ibu ikut bapak.” Sambil menciumi kepala Leni dan Sita yang tengah di
pelukannya.
Sejenak
suasana menjadi lebih tenang.
“Mak?
Sebenarnya ada apa?” tanya Age.
“ Udah
gak usah banyak tanya, Mak mu besok bapak kirim jadi TKW ke Arab lewat teman
bapak. Biar kerja di sana dari pada di sini hanya bermanja-manjaan. Sakit itu
jangan di manjakan bikin susah saja!.”
“Mak? Itu
gak bener kan?”
“Maafin
mak le, ini yang terbaik untuk kita”
Hati Age begitu hancur mndengar
ucapan emaknya dengan nada lirih, air matanya tak terbendung lagi, rasa
sakitnya jauh lebih sakit di banding pukulan yang belum lama mendarat di pipi
kanannya. Malam itu tak terdengar lagi cek-cok serius. Semua terasa sepi, hanya
isakan tangis keluarga miskin di tengan lebatnya malam terakhir kebersamaan
itu.
Keesokan paginya Age terjaga dari tidurnya
lebih pagi dari biasanya, tetapi semua terlambat. Age tak lagi melihat emaknya
tidur bersanding dengan kedua adiknya. Kakinya tak kuat lagi menopang tubuh
kurusnya, ia terduduk tak berdaya. Kenangan bersama emaknya bagai film yang
terus saja terputar di otaknya. Kehidupan dan kesepian terus berjalan.
Sebulan telah berlalu,memang kini
ayahnya lebih peduli. Dia memberikan sebagian
hasil gaji istrinya di Arab untuk biaya hidup Age, Leni dan Sita. Age
pun masih sering kali memulung disela-sela waktu sekolahnya untuk menambah uang
jajan Leni dan Sita. Kebiasaan lama ayahnya menghamburkan uang masih tetap saja
berjalan, tak hanya berjudi kini kebiasaan barunya adalah bermain wanita. Semua
berjalan begitu cepat hingga tak terasa dua tahun sudah kepergian emaknya. Age
merasa ada yang hilang dari hidupnya. Hampir tiap bulan Age mendapat uang dan
sepucuk surat dari emaknya namun telah dua bulan ini tak ada kabar sama sekali.
Uang tak ada yang di kirim, surat pun tak datang. Terlebih kini kebiasaan
ayahnya makin tak terkendali.
Hingga suatu pagi ayahnya pulang
dengan gembira dan tertawa puas. Ia membawa segepok uang ratusan ribu dalam
pecahan lima puluh ribu dan seratusan ribu sambal memeluk seorang wanita.
“Akhirnya aku menang judi, aku kaya
raya. Age sini kamu mau apa, ayah belikan..,” Kata ayah Age.
“Emm..” Jawab Age.
Age hanya terdiam, tapi dalam
hatinya menangis. Dia takut tapi dia juga tak bisa berbuat banyak. Tiba-tiba
suara sirine mobil ambulan mendekat dan berhenti di depan gubuknya yang kini
telah lumayan di renovasi. Petugas ambulan itu turun dan mendatangi ayah Age
yang sedang bersenang-senang dengan wanita itu di teras depan. Age dan
adik-adiknya tak tahu apa yang sedang ayah dan petugas ambulan itu bicarakan. Mereka
hanya melihat dari balik jendela dengan penuh tanya.
Tiba-tiba ayah Age tersungkur di
tanah, dia menangis kencang. Sontak membuat Age dan adik-adiknya lari keluar
dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tak lama berselang petugas ambulan itu
beserta dua temannya berjalan ke pintu belakang ambulan, Age masih bingung
dengan semua ini. Ia lalu berjalan mendekat dan didapatinya sesosok kaku manusia
berselimutkan kain jarik diangkat keluat dari mobil ambulan dengan tandu. Ia
mengikuti setiap langkah petugas itu masuk dan membawa sosok itu ke dalam
rumah, penasaranya kini menjadi-jadi. Kepalanya penuh dengan pertanyaan tanpa
bisa berkata-kata.
Age mulai membuka ujung jarik itu dan didapatinya
wajah emaknya telah pucat pasi. Kepalanya telah di ikat dengan rahang bawah.
Luka-luka lebam masih terlihat jelas di muka emaknya. Seketika itu dia dan
kedua adiknya menangis sejadi-jadinya. Rasa sesal terlukis jelas di wajah ayah
Age yang ketika itu langsung memeluk erat mayat istri yang telah disia-siakan
selama hidupnya.
Oleh : Auliya Muftiningsih ( 11201244006 )
Oleh : Auliya Muftiningsih ( 11201244006 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar