Kamis, 27 September 2012

Penyesalan yang Tertunda



Langit tak lagi semarah tadi. Mendung tebal kelabu perlahan menipis berarak tertiup angin. Selaput tipis awan menghantarkan cahaya matahari jingga keemasan. Meski suasana dingin tetap terasa menggigit tulang, orang-orang mulai terlihat meninggalkan tempat berteduh mereka di emperan toko Malioboro untuk melanjutkan perjalanan.
Hujan tadi meninggalkan jejak air pada tanah becek dan kubangan-kubangan aspal di jalan raya. Sesekali roda mobil para pelancong kaya memecah genangan, menghantarkan air bercampur kotoran ke tubuh orang-orang yang mematung di trotoar tepi jalan maskot kota jogja itu. Terdengar suara gerutuan. Tetapi tak ada yang berani marah. Warana megah metalik kotak beroda itu membuat orang –orang pinggiran merasa manusia yang duduk di dalamnya punya status lebih tinggi dari yang berdiri kaku di pinggir jalan. Orang-orang kaya nampak angkuh dalam kemewahannya tanpa tahu atau pernah merasakan kesengsaraan bagai orang miskin.
Dari kejauhan terlihat sesosok anak belasan tahun yang  berjalan dengan wajah penuh harap sembari menenteng tas plastik besar di punggungnya berisi botol plastik minuman bekas yang sudah sedari tadi pagi ia kumpulkan, bajunya yang telah usang dan robek di pangkal ketiaknya tak membuat Age malu mengabsen tong-tong sampah di sepanjang emperan toko dengan tongkat besi yang telah di modifikasi sedemikian rupa untuk mempermudahnya mengais botol-botol plastik.  Di pikirannya hanya ada obat TBC yang nanti akan dia belikan dari apotek ujung gang gubuknya untuk kesembuhan emaknya di rumah setelah menjual hasil kerjanya seharian ini,yang telah sekian tahun mengidap penyakit berbahaya ini tanpa pernah di obati secara serius dan intensif di rumah sakit karena faktor biaya yang mahal. Age adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adiknya Leni dan Sita msih sangat kecil untuk ikut bekerja membantu ayahnya yang sehari-hari hanya bekerja serabutan dan suka berjudi di daerah Kridosono.
            Tanggung jawab Age sebagai anak sulung tidaklah ringan, kehidupan ekonomi keluarganya jauh dibawah standar yang membuatnya harus membanting tulang menjadi tulang punggung keluarganya. Gubuk tempat ia berlindung sekarangpun hanya tak lebih dari tumpukan kayu dan anyaman bambu tua yang telah reot termakan rayap dan tak layak huni. Dindingnya yang telihat tua telah banyak berlubang sehingga harus di tambal dengan kardus-kardus bekas.
Sore itu sepulang dari mengkilokan hasil dari pekerjaannya memulung seharian dia mendapat uang sebesar dua puluh tujuh lima ratus rupiah. Dia tahu dia hanya akan membawa uang dua ribu lima ratus saja setelah dua puluh lima ribu ia belikan obat, dan benar saja setelah ia membeli obat Isonazid dan uang dalam kantungnya tinggal dua ribu lima ratus saja.
Saat perjalanan pulang, otak Age rasanya berat memikirkan semua permasalahan dihidupnya. Ekonomi yang serba kekurangan, emaknya yang terus sakit-sakitan, adiknya yang butuh makan dan sentuhan pendidikan ditambah lagi dengan ayahnya hanya suka berjudi dan tak lagi pernah pulang memberi nafkah. Ayahnya hanya pulang sesekali dalam seminggu, itupun tak membawa nafkah tapi lebih sering meminta uang untuk berjudi padanya atau emaknya yang hanya bekerja sebagai buruh cuci tidak tetap dirumah tetangganya. Dalam benaknya hanya berkata andaikan saja semua terjadi seperti yang ia harapkan, ekonomi yang cukup, keluarga yang harmonis serta perhatian dan kasih sayang orang tua kepadanya dan adik-adiknya.
Dalam lamunan tiba-tiba  langkahnya terhenti, terdengar suara cek-cok diwarnai tangisan disertai batuk-batuk yang beriringan dengan suara bentakan seorang lelaki yang terasa sedang meluapkan emosi dari dekat gubuk reotnya. Lalu Age mulai berlari dan melepaskan tas plastik besar yang di dalamnya terdapat batang besi beserta obat Isonazid dari genggaman tangannya. Ia berlari sekencang mungkin untuk segera memastikan apa yang telah terjadi. Age yang tubuhnya telah lesu masuk ke dalam rumah yang sangat sederhana itu. Di dapatinya emak yang telah memeluk erat kedua adiknya tersungkur tak berdaya di dekat kardus tempat biasa ia merebahkan tubuhnya sambil menangis. Dilihat bibir emaknya bergetar merasakan sakit dari sebuah cap tangan di pipi pucatnya.
Age bergegas memeluk emaknya lalu berlari ke arah ayahnya dengan mengepalkan tangan dari arah punggungnya. Dia hanya tak rela emaknya dijadikan bulan-bulanan ke egoisan ayahnya. Tetapi belum sempat niatannya menjadi kenyataan, Age telah tersungkur setelah ia merasakan sebuah pukulan mentah dari ayahnya.
“Tidak ada yang pernah mengerti aku, aku butuh uang!! Aku kalah taruhan dan Kalian hanya bisa  membuat hidupku sengsara!” Kata Ayah Age.
“Bapak yang harusnya tahu diri, kami telah berusaha semaksimal mungkin. Lihat emak Pak, tubuhnya kurus, sakit-sakitan, lihat anakmu ini Pak. Lihat Leni dan Sita,dimana perasaan Bapak sebagai seorang ayah!!” sahut Age smbil berkaca-kaca dan mengelus kepalanya yang sedang sakit.
“Dasar anak tak tahu diberi untung, sudah syukur kamu hidup. Masih saja kamu mau melawanku!”
“Sudahh..Sudaahh..Hentikan! Pak, ibu tahu bapak capek, ibu juga tahu kehidupan kita serba kekurangan. Kalau memang ini yang terbaik ibu akan turuti mau bapak, tapi ibu pesen tolong pak, tolong jaga anak-anak kita.” Emak Age menyela.
“Mak??”
“Iya Pak, besok ibu ikut bapak.” Sambil menciumi kepala Leni dan Sita yang tengah di pelukannya.
Sejenak suasana menjadi lebih tenang.
“Mak? Sebenarnya ada apa?” tanya Age.
“ Udah gak usah banyak tanya, Mak mu besok bapak kirim jadi TKW ke Arab lewat teman bapak. Biar kerja di sana dari pada di sini hanya bermanja-manjaan. Sakit itu jangan di manjakan bikin susah saja!.”
“Mak? Itu gak bener kan?”
“Maafin mak le, ini yang terbaik untuk kita”
            Hati Age begitu hancur mndengar ucapan emaknya dengan nada lirih, air matanya tak terbendung lagi, rasa sakitnya jauh lebih sakit di banding pukulan yang belum lama mendarat di pipi kanannya. Malam itu tak terdengar lagi cek-cok serius. Semua terasa sepi, hanya isakan tangis keluarga miskin di tengan lebatnya malam terakhir kebersamaan itu.
Keesokan paginya Age terjaga dari tidurnya lebih pagi dari biasanya, tetapi semua terlambat. Age tak lagi melihat emaknya tidur bersanding dengan kedua adiknya. Kakinya tak kuat lagi menopang tubuh kurusnya, ia terduduk tak berdaya. Kenangan bersama emaknya bagai film yang terus saja terputar di otaknya. Kehidupan dan kesepian terus berjalan.
            Sebulan telah berlalu,memang kini ayahnya lebih peduli. Dia memberikan sebagian  hasil gaji istrinya di Arab untuk biaya hidup Age, Leni dan Sita. Age pun masih sering kali memulung disela-sela waktu sekolahnya untuk menambah uang jajan Leni dan Sita. Kebiasaan lama ayahnya menghamburkan uang masih tetap saja berjalan, tak hanya berjudi kini kebiasaan barunya adalah bermain wanita. Semua berjalan begitu cepat hingga tak terasa dua tahun sudah kepergian emaknya. Age merasa ada yang hilang dari hidupnya. Hampir tiap bulan Age mendapat uang dan sepucuk surat dari emaknya namun telah dua bulan ini tak ada kabar sama sekali. Uang tak ada yang di kirim, surat pun tak datang. Terlebih kini kebiasaan ayahnya makin tak terkendali.
            Hingga suatu pagi ayahnya pulang dengan gembira dan tertawa puas. Ia membawa segepok uang ratusan ribu dalam pecahan lima puluh ribu dan seratusan ribu sambal memeluk seorang wanita.
            “Akhirnya aku menang judi, aku kaya raya. Age sini kamu mau apa, ayah belikan..,” Kata ayah Age.
            “Emm..” Jawab Age.
            Age hanya terdiam, tapi dalam hatinya menangis. Dia takut tapi dia juga tak bisa berbuat banyak. Tiba-tiba suara sirine mobil ambulan mendekat dan berhenti di depan gubuknya yang kini telah lumayan di renovasi. Petugas ambulan itu turun dan mendatangi ayah Age yang sedang bersenang-senang dengan wanita itu di teras depan. Age dan adik-adiknya tak tahu apa yang sedang ayah dan petugas ambulan itu bicarakan. Mereka hanya melihat dari balik jendela dengan penuh tanya.
            Tiba-tiba ayah Age tersungkur di tanah, dia menangis kencang. Sontak membuat Age dan adik-adiknya lari keluar dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tak lama berselang petugas ambulan itu beserta dua temannya berjalan ke pintu belakang ambulan, Age masih bingung dengan semua ini. Ia lalu berjalan mendekat dan didapatinya sesosok kaku manusia berselimutkan kain jarik diangkat keluat dari mobil ambulan dengan tandu. Ia mengikuti setiap langkah petugas itu masuk dan membawa sosok itu ke dalam rumah, penasaranya kini menjadi-jadi. Kepalanya penuh dengan pertanyaan tanpa bisa berkata-kata.
Age mulai membuka ujung jarik itu dan didapatinya wajah emaknya telah pucat pasi. Kepalanya telah di ikat dengan rahang bawah. Luka-luka lebam masih terlihat jelas di muka emaknya. Seketika itu dia dan kedua adiknya menangis sejadi-jadinya. Rasa sesal terlukis jelas di wajah ayah Age yang ketika itu langsung memeluk erat mayat istri yang telah disia-siakan selama hidupnya. 



Oleh : Auliya Muftiningsih ( 11201244006 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar