Dear diary,
Hari
ini aku senang sekali. Rasanya seperti kejatuhan butiran – butiran salju.
Berrr… Dingin.. Hari ini aku bertemu seorang pangeran yang tampan. Tampan
sekali. Hahaha.. aku lebay.. Tatapan matanya membuat jantungku seakan berhenti
berdetak. Senyumannya yang tak pernah mau hilang dari kepalaku seakan seperti
dilem dan tak mau lepas. Oohh.. pangeran dari mana gerangan?? Aku ingin
menyapamu tapi aku malu. Nyaliku terlalu kecil untuk hal semacam itu. Semoga
hari esok adalah hari keberuntunganku. Semoga aku bisa bercakap dengannya.
Terima kasih diary sudah menemaniku hari ini.
Kriiiiiiiing… bunyi jam weker di
kamarku membuatku terbangun. Ternyata buku diary yang aku tulis semalam masih
terbuka. Semoga tidak ada orang yang masuk ke kamarku. Hari ini hari Selasa,
hari kedua dalam seminggu. Aku bergegas mandi dan sarapan agar aku dapat sampai
ke sekolah lebih awal. Aku berharap bisa bertemu dengan pangeran dalam diaryku.
Aku adalah siswa kelas 2 SMA N 1 Teladan. Pangeran yang aku ceritakan di
diaryku bernama Hamam, siswa kelas 3 SMA N 1 Teladan yang baru saja pindah ke
sekolahku. Dia adalah kakak kelasku. Bukan hanya aku saja yang mengaguminya,
namun sebagian besar siswa di SMAku juga menaruh hati terhadapnya. Hamam adalah
sosok yang pendiam, manis, dan pintar. Aku melihat tak ada kekurangan suatu
apapun pada dirinya.
Tiba – tiba lonceng tanda masuk mengagetkanku. Aku
berlari menuju kelasku. Kelasku jauh sekali karena tadi aku berada di lantai 2
sedang bercakap dengan kakakku yang juga satu sekolah denganku. Kakakku bernama
Tio.Dia merupakan sahabat dekat Hamam. Aku jadi merasa lebih beruntung karena
kakakku adalah sahabat dari laki – laki yang aku kagumi. Saat aku berlari, aku
melihat sosok Hamam yang sedang berjalan dengan santainya tanpa menghiraukan
orang – orang di sekelilingnya yang melirik dirinya. Seolah – olah dia adalah
artis di sekolahku. Aku ingin menyapanya tapi aku tak berani. Aku takut kalau
aku tak dihiraukannya. Aku terus berlari sambil melirik ke arah Hamam. Aku tak
tahu kalau di depanku ada guru killer. Aku menabraknya.
Gubrakkk..!!Guruku
terjatuh.
Semua siswa menoleh ke
arahku termasuk Hamam. Aku berusaha meminta maaf, tapi guruku hanya tersenyum.
Jarang sekali guru yang satu ini tersenyum. Aku tak tahu apa maksud senyumannya
itu. Aku berpikir kalau aku beruntung tidak dimarahi oleh guru killer ini. Aku
akan malu setengah mati kalau aku dimarahi. Belum beberapa detik dalam hatiku
berkata seperti itu, guru marah. Dengan suara sekeras halilintar guruku
berkata, “Apa yang kamu lihat sampai kamu tak memperhatikan jalan?” Sontak
wajahku memerah. Aku tak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin aku menjawab
jujur karena pasti siswa yang lain akan menyorakiku. Akhirnya aku menjawab,
“Maaf, Bu..aku tidak melihat kalau ibu di depanku karena tadi aku sedang
melihat ke arah belakang. Aku pikir ada seseorang yang mengejarku.” Serempak
semua siswa yang melihatku berseru, “Huuuuuuu.. dia bohong, Bu!!” ” Dia pasti
sedang melihat Hamam, “ sahut seorang siswa. Pipiku merah. Hatiku berdebar
kencang karena Hamam perlahan mendekatiku. “Maaf Bu, dia tidak salah. Tadi aku
yang memanggilnya dari belakang lalu dia mencoba mencari sumber suara yang
memanggilnya.Ini salah saya,” kata Hamam mencoba membelaku. “Ya sudah jangan
diperpanjang lagi. Semuanya bubar. Jam pelajaran akan dimulai,” seru guru
killer itu. Aku tak kuasa menahan degup jantung yang semakin kencang. Aku tak
percaya Hamam mau membelaku di depan banyak teman – teman. Mimpi apa aku
semalam? Aku tak menyangka hal ini terjadi.
Belum sempat aku berterima kasih, Hamam sudah menghilang
dari hadapanku. Aku meneruskan lariku menuju kelas. Sesampai di kelas, kejadian
yang baru saja terjadi tak mau pergi dari ingatanku.
Lonceng tanda berakhirnya kegiatan belajar mengajar
berbunyi. Aku keluar dari kelasku. Dengan terburu – buru karena ingin mencari
Hamam dan ingin mengucapkan terima kasih, kakakku datang. “Ayo pulang, dik!”
“Iya kak, sebentar. Aku ingin bertemu dengan Hamam. Apa
dia sudah keluar dari kelasnya?”
“Sudah sejak tadi dia pulang. Dia izin tidak mengikuti
mata pelajaran yang terakhir karena urusan keluarga.”
Aku mencoba menenangkan diriku. Aku sedikit kecewa karena
tak jadi bertemu dengan sosok pangeran yang aku kagumi.
Setelah sampai di rumah, aku kaget karena Hamam telah berada
di depan rumahku. “Ada perlu apa kamu ke rumahku?” tanyaku kepada Hamam. “Aku
ingin bertemu Tio. Aku ingin meminjam bukunya karena tadi aku tidak mengikuti
pelajaran terakhir,” jawab Hamam.
“Oya, aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu karena
kamu telah menyelamatkanku dari amukan guru killer itu,” ucapku.
“Tak masalah. Jangan terlalu dipikirkan,” jawab lelaki yang
mempesona itu.
Aku menyuruh Hamam untuk duduk dahulu di rumahku agar aku
bisa bercakap dengannya lebih lama lagi. Hamam yang aku pikir orang yang
pendiam, ternyata dia asyik kalau diajak bercakap. Dua jam berlalu tak terasa.
Aku dan Hamam semakin akrab.
Sejak dia datang ke rumahku, aku semakin sering
berbincang dengannya. Karena keseringan itu, mulai tumbuh cinta antara aku dan
Hamam. Dulu aku hanya mengaguminya. Aku tak berharap lebih untuk menjadi
kekasihnya. Namun keberuntungan itu untuk beberapa kali menghampiriku. Hamam menyatakan
cintanya kepadaku. Tanpa berpikir lama aku menerimanya.
Sebulan, dua bulan, hingga dua tahun berlalu. Hubunganku
dengan Hamam baik – baik saja. Namun semakin kesini, entah mengapa aku mulai
merasa tak nyaman lagi dengan Hamam. Aku mencoba untuk menduakannya dengan Zaki
sahabatku sendiri. Aku tak tahu apa Hamam mengetahui hal ini, yang pasti aku
mencoba menyembunyikannya. Aku dan Zaki sering jalan berdua. Setiap kali aku
jalan dengan Zaki, setiap kali itu juga aku melihat goresan luka di tangan
Hamam. Aku tak mengerti goresan apa itu. Setiap aku bertanya, Hamam hanya
tersenyum. Aku tak mengerti makna di balik senyumannya yang kadang membuat aku
merasa sangat bersalah terhadap dirinya.
Lebih dari satu bulan aku menduakan Hamam dengan Zaki.
Namun perasaan cintaku terhadap Hamam tak bisa digantikan oleh siapapun baik
itu Zaki atau laki – laki lain. Suatu hari Hamam menelfonku. “Sayang?”ucap
Hamam dengan nada lirih. Sontak mataku tak mampu membendung air mata yamg
mengucur deras di pipiku. Aku tak mampu menjawabnya. Aku merasa selama ini
telah menyia – nyiakan sosok yang sangat menyayangiku begitu tulus. Hamam
melanjutkan perkataannya, “ Sayang, aku sangat mencintaimu dan sampai saat ini
cintaku kepadamu tak berkurang sedikitpun walaupun kamu telah menduakan aku
dengan sahabatmu. Aku menyadari semua ini adalah kesalahanku yang tak mampu
menjaga hatimu sehingga kamu berpaling dengan laki – laki lain. Goresan luka di
tanganku adalah tebusan dari kesalahanku yang tak mampu menjaga hatimu. Maafkan
aku yang juga telah menduakanmu dengan wanita lain. Biarkan luka ini abadi agar
aku tetap bisa mengenangmu dalam hati walaupun aku telah bersama yang lain.”
Evi Dwi Anggraini
11201241067
Tidak ada komentar:
Posting Komentar