Rabu, 26 September 2012

Goresan Luka di Tanganmu




            Dear diary,
Hari ini aku senang sekali. Rasanya seperti kejatuhan butiran – butiran salju. Berrr… Dingin.. Hari ini aku bertemu seorang pangeran yang tampan. Tampan sekali. Hahaha.. aku lebay.. Tatapan matanya membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Senyumannya yang tak pernah mau hilang dari kepalaku seakan seperti dilem dan tak mau lepas. Oohh.. pangeran dari mana gerangan?? Aku ingin menyapamu tapi aku malu. Nyaliku terlalu kecil untuk hal semacam itu. Semoga hari esok adalah hari keberuntunganku. Semoga aku bisa bercakap dengannya. Terima kasih diary sudah menemaniku hari ini.

            Kriiiiiiiing… bunyi jam weker di kamarku membuatku terbangun. Ternyata buku diary yang aku tulis semalam masih terbuka. Semoga tidak ada orang yang masuk ke kamarku. Hari ini hari Selasa, hari kedua dalam seminggu. Aku bergegas mandi dan sarapan agar aku dapat sampai ke sekolah lebih awal. Aku berharap bisa bertemu dengan pangeran dalam diaryku. Aku adalah siswa kelas 2 SMA N 1 Teladan. Pangeran yang aku ceritakan di diaryku bernama Hamam, siswa kelas 3 SMA N 1 Teladan yang baru saja pindah ke sekolahku. Dia adalah kakak kelasku. Bukan hanya aku saja yang mengaguminya, namun sebagian besar siswa di SMAku juga menaruh hati terhadapnya. Hamam adalah sosok yang pendiam, manis, dan pintar. Aku melihat tak ada kekurangan suatu apapun pada dirinya.
            Tiba – tiba lonceng tanda masuk mengagetkanku. Aku berlari menuju kelasku. Kelasku jauh sekali karena tadi aku berada di lantai 2 sedang bercakap dengan kakakku yang juga satu sekolah denganku. Kakakku bernama Tio.Dia merupakan sahabat dekat Hamam. Aku jadi merasa lebih beruntung karena kakakku adalah sahabat dari laki – laki yang aku kagumi. Saat aku berlari, aku melihat sosok Hamam yang sedang berjalan dengan santainya tanpa menghiraukan orang – orang di sekelilingnya yang melirik dirinya. Seolah – olah dia adalah artis di sekolahku. Aku ingin menyapanya tapi aku tak berani. Aku takut kalau aku tak dihiraukannya. Aku terus berlari sambil melirik ke arah Hamam. Aku tak tahu kalau di depanku ada guru killer. Aku menabraknya.
Gubrakkk..!!Guruku terjatuh.
Semua siswa menoleh ke arahku termasuk Hamam. Aku berusaha meminta maaf, tapi guruku hanya tersenyum. Jarang sekali guru yang satu ini tersenyum. Aku tak tahu apa maksud senyumannya itu. Aku berpikir kalau aku beruntung tidak dimarahi oleh guru killer ini. Aku akan malu setengah mati kalau aku dimarahi. Belum beberapa detik dalam hatiku berkata seperti itu, guru marah. Dengan suara sekeras halilintar guruku berkata, “Apa yang kamu lihat sampai kamu tak memperhatikan jalan?” Sontak wajahku memerah. Aku tak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin aku menjawab jujur karena pasti siswa yang lain akan menyorakiku. Akhirnya aku menjawab, “Maaf, Bu..aku tidak melihat kalau ibu di depanku karena tadi aku sedang melihat ke arah belakang. Aku pikir ada seseorang yang mengejarku.” Serempak semua siswa yang melihatku berseru, “Huuuuuuu.. dia bohong, Bu!!” ” Dia pasti sedang melihat Hamam, “ sahut seorang siswa. Pipiku merah. Hatiku berdebar kencang karena Hamam perlahan mendekatiku. “Maaf Bu, dia tidak salah. Tadi aku yang memanggilnya dari belakang lalu dia mencoba mencari sumber suara yang memanggilnya.Ini salah saya,” kata Hamam mencoba membelaku. “Ya sudah jangan diperpanjang lagi. Semuanya bubar. Jam pelajaran akan dimulai,” seru guru killer itu. Aku tak kuasa menahan degup jantung yang semakin kencang. Aku tak percaya Hamam mau membelaku di depan banyak teman – teman. Mimpi apa aku semalam? Aku tak menyangka hal ini terjadi.
            Belum sempat aku berterima kasih, Hamam sudah menghilang dari hadapanku. Aku meneruskan lariku menuju kelas. Sesampai di kelas, kejadian yang baru saja terjadi tak mau pergi dari ingatanku.
            Lonceng tanda berakhirnya kegiatan belajar mengajar berbunyi. Aku keluar dari kelasku. Dengan terburu – buru karena ingin mencari Hamam dan ingin mengucapkan terima kasih, kakakku datang. “Ayo pulang, dik!”
            “Iya kak, sebentar. Aku ingin bertemu dengan Hamam. Apa dia sudah keluar dari kelasnya?”
            “Sudah sejak tadi dia pulang. Dia izin tidak mengikuti mata pelajaran yang terakhir karena urusan keluarga.”
            Aku mencoba menenangkan diriku. Aku sedikit kecewa karena tak jadi bertemu dengan sosok pangeran yang aku kagumi.
            Setelah sampai di rumah, aku kaget karena Hamam telah berada di depan rumahku. “Ada perlu apa kamu ke rumahku?” tanyaku kepada Hamam. “Aku ingin bertemu Tio. Aku ingin meminjam bukunya karena tadi aku tidak mengikuti pelajaran terakhir,” jawab Hamam.
            “Oya, aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu karena kamu telah menyelamatkanku dari amukan guru killer itu,” ucapku.
            “Tak masalah. Jangan terlalu dipikirkan,” jawab lelaki yang mempesona itu.
            Aku menyuruh Hamam untuk duduk dahulu di rumahku agar aku bisa bercakap dengannya lebih lama lagi. Hamam yang aku pikir orang yang pendiam, ternyata dia asyik kalau diajak bercakap. Dua jam berlalu tak terasa. Aku dan Hamam semakin akrab.
            Sejak dia datang ke rumahku, aku semakin sering berbincang dengannya. Karena keseringan itu, mulai tumbuh cinta antara aku dan Hamam. Dulu aku hanya mengaguminya. Aku tak berharap lebih untuk menjadi kekasihnya. Namun keberuntungan itu untuk beberapa kali menghampiriku. Hamam menyatakan cintanya kepadaku. Tanpa berpikir lama aku menerimanya.
            Sebulan, dua bulan, hingga dua tahun berlalu. Hubunganku dengan Hamam baik – baik saja. Namun semakin kesini, entah mengapa aku mulai merasa tak nyaman lagi dengan Hamam. Aku mencoba untuk menduakannya dengan Zaki sahabatku sendiri. Aku tak tahu apa Hamam mengetahui hal ini, yang pasti aku mencoba menyembunyikannya. Aku dan Zaki sering jalan berdua. Setiap kali aku jalan dengan Zaki, setiap kali itu juga aku melihat goresan luka di tangan Hamam. Aku tak mengerti goresan apa itu. Setiap aku bertanya, Hamam hanya tersenyum. Aku tak mengerti makna di balik senyumannya yang kadang membuat aku merasa sangat bersalah terhadap dirinya.
            Lebih dari satu bulan aku menduakan Hamam dengan Zaki. Namun perasaan cintaku terhadap Hamam tak bisa digantikan oleh siapapun baik itu Zaki atau laki – laki lain. Suatu hari Hamam menelfonku. “Sayang?”ucap Hamam dengan nada lirih. Sontak mataku tak mampu membendung air mata yamg mengucur deras di pipiku. Aku tak mampu menjawabnya. Aku merasa selama ini telah menyia – nyiakan sosok yang sangat menyayangiku begitu tulus. Hamam melanjutkan perkataannya, “ Sayang, aku sangat mencintaimu dan sampai saat ini cintaku kepadamu tak berkurang sedikitpun walaupun kamu telah menduakan aku dengan sahabatmu. Aku menyadari semua ini adalah kesalahanku yang tak mampu menjaga hatimu sehingga kamu berpaling dengan laki – laki lain. Goresan luka di tanganku adalah tebusan dari kesalahanku yang tak mampu menjaga hatimu. Maafkan aku yang juga telah menduakanmu dengan wanita lain. Biarkan luka ini abadi agar aku tetap bisa mengenangmu dalam hati walaupun aku telah bersama yang lain.”

                                                                                    Evi Dwi Anggraini
                                                                   11201241067

Tidak ada komentar:

Posting Komentar