Jaman yang sudah
berdemokrasi seperti ini masih saja ada
yang namanya mendiskriminasi orang yang belum tentu bersalah. Contohnya manusia
yang paling berjasa dalam hidup kita yaitu seorang perempuan. Para kaum ini
dengan ikhlas memberi sumbangsih tenaga dan keringat untuk menciptakan generasi
baru. Akan tetapi masih saja ada perlakuan yang tidak mengenakan dalam
kehidupan perempuan.
Di dalam dunia kerja contohnya, masih banyak
saja peraturan yang merugikan perempuan. Jika ingin melamar kerja atau ada
penerimaan pegai baru (open Recruitment) mereka akan disuguhkan dengan segala
peraturan. Misalanya paras cantik, body bahenol,
tinggi sekian, dll. Dan mereka yang beruntung mendapat pekerjaan dengan
persyaratan sperti itu munkin saja menempati posisi-posisi seperti teller bank,
customer service, pront office, pramugari, penyiar TV, atau salles promotion
girl (SPG).
Tidak
habis pikir saya perusahaan yang seperti itu?
Bagaimana jika perempuan yang
energik, kreatif, inisiatif, cerdas, antusias akan pekerjaan. Tetapi tidak
mempunyai paras cantik, body bahenol,
dll. Apakah ada pengecualian dalam pekerjaan? Jika para petinggi perusahaan
mementingkan uang pasti tidak akan diterima di posisi yang sangat potensial
untuk menghasilkan uang. Mereka yang tersingkirkan biasanya berada dibalik
semua orang yang berpikiran tentang uang. Dari awal ingin bekerja saja sudah
dihadapkan dengan mendiskriminasi secara tidak langsung. bagaimana kalau sudah
menjadi pegawai dalam perusahaan? Mugkin saja pegawai yang parasanya cantik
akan mendapatkan pujian yang lebih tinggi dari pada perempuan yang tidak
terlalu cantik.
Belum lagi jika di bandingkan
dengan para pria dalam penggajian, hal yang lumrah jika gaji wanita lebih rendah daripada gaji pria,
sekalipun wanita tersebut berkedudukan sebagai kepala keluarga—entah karena
suami tidak bekerja, menjadi janda, atau semua anggota keluarga menganggur
kecuali ia. Dapat juga disebut diskriminasi apabila penggajian kepada wanita yang
telah menikah disamakan dengan wanita lajang; sementara pekerja pria yang
menikah tidak diperlakukan seperti pria lajang.
Masalah yang merugikan perempuan masih
terus berlanjut sampai ke pernikahan campuran atau perempuan Indonesia yang
menikah dengan orang luar negeri. Peraturan sperti ini seharusnya tidak usah di
perdebatkan karena menyangkut masa depan. Karena Kurangnya perlindungan hak-hak
hukum perempuan Indonesia yang melakukan perkawinan campuran bermula dengan
adanya peraturan perkawinan campuran (GHR), dimana perempuan yang menikah
dengan laki-laki warganegara asing, tunduk kepada hukum yang berlaku baik hukum
publik maupun hukum perdata, dan kedudukan anak di dalam perkawinan campuran
tersebut mempunyai kedudukan hukum seperti ayahnya. Lalu adanya undang-undang
kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 masih Yang terukir rapi dalam pena Negara
ini bertuliskan jika perempuan Indonesia menikah dengan orang asing dan tidak
menyatakan keterangan selama 1 tahun maka kewarganegaraan nya akan hilang itu
keterangan singkatnya. Untuk lebih jelas bisa lihat langsung UU tersebut.
Tega sekali Negara ini yang
mempunyai undang-undang dasar sebagai panutan yang tak saya hapal semua nya
karena terlalu banyak kebijakan-kebijakan yang di buat atau mungkin kebijakan
yang dibuat-buat agar mementingkan emosional sendiri. Sangat miris melihat
manusia dengan segala kehormatan dan jiwa yang besar di perlakukan seperti itu.
Saya jadi berpikir bahwa Negara ini di isi oleh manusia yang selalu mengangkat
dagunya setiap hari dan tidak mau bersusah payah bersama untuk menjalin
keharmonisan gender. Sungguh memalukan. Salam!
Rio
Anggoro Pangestu
11201244007
11201244007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar